Sumber Daya dan Rekrutmen Partai Politik

Diantara sekian sumber daya politik dalam dunianya partai politik. Selain sumber daya informasi, sumber daya finansial, sumber daya jaringan dan sumber daya tekhnologi informasi. Adalah sumber daya manusia memegang peranan yang paling penting dalam berpolitik, organisasi partai politik tidak digerakkan oleh mesin dan tekhnologi, tetapi oleh manusia.

Dengan demikian cara organisasi partai politik dalam mendapatkan manusia yang memiliki kemampuan dan intergritas tinggi merupakan tantangan utama dalam hal manajemen organisasi partai politik. Tidak aneh kalau menjelang pemilu, masing-masing partai politik mencoba mencari dan mengusung individu yang memiliki potensi  untuk ditawarkan sebagai calon legisltaif.

Melihat kondisi demkian, sehingga kadang partai politik mencari sumber daya kader, anggota partai politik terjebak dalam suatu pargamatisme semu. Hanya karena faktor ketenaran seseorang dalam dunia politik dianggap sebagai faktor penentu untuk mendapatkan simpatisan di kalangan masyarakat.  Sekurang-kurangnya di sebuah komunitas tertentu.

Saat ini, banyak sekali artis dan selebriti yang dirangkul oleh partai politik. Celakanya terkadang direkrut tanpa melihat pengetahuan dan keahlian mereka, terutama yang berkaitan dalam dunia politik. Akibatnya kerap kali dilupakan perlunya sistem kaderisasi dalam tubuh partai politik.

Sumber: investor.co.id

Sumber: investor.co.id

Mestinya partai politik harus selalu mengingat, bahwa rekrutmen dari luar kader sangat rawan terhadap berbagai resiko.  Pertama, ketidaksesuaian paham ideologis antara orang-orang yang direkrut dengan organisasi partai politik yang bersangkutan. Resiko kedua,  terjebaknya suatu partai politik pada pragmatisme jangka pendek yang menjadikan organisasi partai politik sebagai kendaraan untuk berkuasa (Firmanzah: 2012)

Fakta tersebutlah yang banyak mengisi tanah air pada masa ini. Hanya dengan modal popularitas sebagai aktor di medan lagi kemudian diangkat untuk berlaga dalam dunia politik. Padahal dalam politik,  tidak hanya cukup dengan modal tampang dan ketenaran saja.  Dari kalangan artis, selebriti, bintang penyayi, actor lawakan mewarnai kompetisi politik menuju jabatan politik sebagai representasi rakyat nantinya.

Tentu saja tidak berarti bahwa cara ini salah. Misalnya di Amerika Serikat pun digunakan cara seperti ini. Contoh besarnya adalah Ronald Reagen yang menyusuri jenjang karir politik hingga akhirnya menjadi orang nomor satu di Negara adikuasa itu.

Contoh yang lain, ada nama beken Arnold Schwarzenegger  yang memulai karis sebagai bintang film keras dan akhirnya menjadi Gubernur di California. Tapi mesti dingat bahwa munculnya aktor-aktor tersebut tidak semata-mata  di dasarkan pada ketenaran mereka saja.

Artinya partai politik boleh saja merekrut anggota partai politik untuk dinobatkan sebagai bakal calon anggota DPR di kemudian hari. Namun tidak boleh melupakan peran dan fungsi kaderisasi dalam struktur kepartaian. Karena bagimana mungkin imentransfer ideology dan warna partai jika partai politik tersebut. Cenderung memainkan politik instan.

Ruginya bukan hanya pada rakyat yang diwakilinya kelak. Pasti kader yang telah menempati jabatan politik di parlemen  ketika tidak memilki kecerdasan kognitif, emosional, dan konatif. Untuk mentrasmisikan ideologi partai dalam segala bentuk kebijakan peraturan perundang-undangan. Maka akan memukul balik juga partainya. Sebagai partai yang dibawah dalam fraksi di parlemen otomatis akan merusak citra partai.

Oleh karena itu, sistem kaderisasi dalam partai politik. Mesti diefektifkan dalam membentuk kader yang berintegritas, professional, kredibel. Untuk menawarkan (suplay) produk politik yang berkulitas kepada ceruk pasar pemilih. Sisem kaderisasi jika dibuka tujuan dan substansi utamanya adalah membentuk kader yang memiliki jiwa kepemimpinan. Sehingga caleg tersebut dapat berperan baik di parlemen.

Terkait dengan itu partai politik perlu melakukan pemberdayaan.  Kenneth A Bullen, mengemukakan secara jelas mengenai pemberdayaan politik sebagai salah satu komponen dari usaha pemberdayaan parpol adalah kapasitas parpol. Setiap parpol harus mempunyai capacity dan capability atau kapasitas parpol dan kemampuan untuk memperoleh kekuasaan dengan memenangkan pemilu. Salah satu kapasitas parpol adalah kapasitas absorsi.

Kapasitas absorsi adalah kemampuan memperoleh kekuasaan untuk memerintah dukungan dari anggota masyarakat. Karenanya Parpol tanpa kapsitas absorsi sama dengan manusia tanpa jiwa. Semakin tinggi kapasitas  absorsi suatu parpol maka semakin mantap pula legitimasinya di kalangan masyarakat. Atau semakin rendah kapasitas absorsi sebuah parpol maka semakin hilang peluangnya untuk memperoleh dukungan dari masyarakat dan hilang pula peluangnya untuk memerintah.

Karena itu, tanpa legitimasi dari partai politik maka tidak mampu mendapat kapasitas absorsi. Cara yang terbaik dilakukan oleh Parpol mendapatkan kapasitas absorsi adalah dengan melahirkan kader yang memiliki karakter calon yang berjiwa kepemimpinan.

Tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan oleh partai politik kecuali mengefektifkan sistem kaderisasi anggota. Di samping Parpol konsisten untuk melakukan transpransi kepada kader yang berkulitas untuk berlaga dalam perekrutan bakal calon anggota DPR. Pasti akan ditemukan sumber daya manusia (baca: kader) yang berkulitas pula.

Jika kader berkualitas, sejatinya pejabat public terpilih, yang telah lolos proses perekrutan akan baik pula. Kalau sudah demikian bukan hal mustahil peran partai politik mewujudkan Negara yang mampu mendongkrak kesejahteraan ekonomi rakyat akan Nampak pula. Itulah tujuan ideal dari partai politik sehingga penting untuk dilakukan perekrutan sumber daya manusia agar memiliki jiwa kepemimpinan nantinya.

Menurut Khoiruddin (dalam Elfriza: 2012), dalam memahami karakteristik kepemimpinan, bagi partai politik dapat dilakukan dengan mempertimbangkan factor-faktor yang mendorong lahirnya kepemimpinan dan sifat (nature) kepemimpinan sebagai berikut:

  1. Teori serba sifat (trits theory). Kepemimpinan itu memerlukan serangkain sifat-sifat, cirri-ciri atau perangai tertentu yang menjamin keberhasilan pada setiap situasi. Awalnya teori ini membandingkan sifat kepemimpinan yang ada dengan sifat-sifat orang besar. Kesimpulannya kepemimpinan orang besar adalah karena sifat-sifat yang dibawah sejak lahir dan bakat yang dimilikinya. Teori ini menurut Siagian disebut juga teori generates.
  2. Teori lingkungan (environmental theory). Munculnya pemimpin merupakan hasil dari waktu, tempat dan keadaan tertentu. Seorang akan muncul menjadi pemimpin apabila ia berada dalam lingkungan sosial, dan mampu memanfaatkan situasi dan kondisi sosial untuk bertindak mengatasai masalah sosial. Setiap situasi dan kondisi akan menuntut suatu kualitas  kepemimpinan yang berbeda pula. Teori ini sejalan dengan pandangan bahwa “leaders are made not bom”.
  3. Teori pribadi situasional (personal situasional theory). Kepemimpinan merupakan hasil dari keterkaitan antara sifat-sifat pribadi pemimpin, sifat kelompok dan anggotanya dan kejadian (masalah) yang dihadapi kelompok. Teori ini menyatakan  sifat-sifat saja belum memungkinkan seorang pemimpin untuk berkembang namun masih harus dikaitkan dengan situasi dan kondisi.
  4. Teori interkasi-harapan (interaction-expectation theory). Seorang pemimpin menggerakan pengikut dengan harapan-harapan bahwa ia akan berhasil mencapai tujuan oraganisasi, mendapat keuntungan, pengharagaan dan lainnya. Dengan demikian diharapkan pengikut akan mengikuti pemimpin dnegan harapan-harapan sipemimpin. Teori ini mendasarkan diri pada variable; aksi, reaksi dan perasaan.
  5. Teori humanistic (humanistic theory). Teori ini menggunakan dalil yang memandang manusia adalah organisme yang dimotivasi, sedangkan organisasi sifatnya menyusun dan mengendalikan. Fungsi kepemimpinan ini adalah membuat organisasi sedemikian rupa sehingga memberi sedikit kebebasan kepada individu untuk mewujudkan motivasi sendiri yang potensial untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya seperti fisiologis, keamanan sosial, dan prestise.
  6. Teori pertukaran (exchange theory). Secara sederhana teori ini dapat dijelaskan pada  asumsi  bahwa terjadi proses interkasi sosial, pertukaran, memberi dan menerima antara anggota kelompok dengan segala pengorbanan dan imbalannya. Diantara mereka terjadi apresiasi yang terus menerus dan saling melakukan pertukaran keuntungan. Proses yang demikian terjadi pula pada pemimpin dan para pengikutnya yang pada gilirannya akan terjadi gerak para pengikut yang digerakkan pemimpinnya.

Berdasarkan krakteristik pemimpin yang dikemukakan oleh Khoiruddin di atas. Tinggal partai politik menginetgrasikannya dalam sistem dan metode kaderisasi mereka. Jelas hal ini tergantung pada kemampuan partai politik mentransformasikan ke dalam kader melalui penjenjangan kader dalam Anggaran Dasar Rumah Tangga mereka. Karena sekali lagi dikemukakan bahwa persoalan metode kaderisasi yang hendak diterapkan oleh partai politik, otoritas penuh berada di tangan partai politik. Undang-undang Partai Politik hanya memberikan kewajiban kepada partai politik agar melakukan kaderisasi untuk perekrutan anggota partai politik.

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...