Syarat Sahnya Perikatan (Pertemuan Ketiga)

Diantara beberapa terminologi hukum perikatan (overeenkomst). Istilah yang sering diketemukan diantaranya persetujuan, perjanjian dan kontrak. Membahas syarat sahnya perikatan sulit dipisahkan dari salah satu asas dalam hukum perikatan yakni asas konsensuil (kesepakatan). Syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1230 yakni: sepakat bagi yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan sebab yang halal atau legal.[1]

Unsur sepakat dan cakap jika tidak dipenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan (vernietigbaar) sedangkan unsur suatu hal tertentu dan sebab yang halal tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum (nuul and void). Dapat dibatalkan berarti bahwa perjanjian itu dianggap sah sepanjang tidak pernah dibatalkan sedangkan batal demi hukum sudah dari awal perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.

Sepakat

Kesepakatan sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian merpakan unsur esensil atau utama sebagai syarat sahnya perjanjian. Kesepakatan dalam perikatan/ kontrak dapat terjadi  dalam bentuk lisan, tertulis,  dengan simbol-simbol tertentu serta  berdiam diri. Perikatan dapat menjadi batal (dapat dibatalkan) jika saja terjadi cacat kehendak atau cacat kesepakatan melalui beberapa hal, diantaranya kekhilafan/ kesesatan, paksaan, penipuan dan penyalahgunaan keadaan.

Cacat kehendak karena kekhilafan, paksaan, dan penipuan diatur dalam Pasal 1321 BW yang menegaskan “tiada kesepakatan yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Kemudian diatur juga dalam Pasal 1449 BW yang menegaskan “perikata yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan, atau penipuan, menerbitkan suatu tuntutan untuk membatalkannya.

Kecakapan

Cakap yang dimaksud di sini adalah setiap orang yang berumur 21 tahun ke atas oleh hkum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal ditaruh di bawah pengampuan, seperti: gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros. Lebih jauh ditegaskan perihal yang dianggap tidak cakap berdasarkan Pasal 1330 menegaskan, “tidak cakap untuk membuat perjanjian adalah:

  1. Orang yang belum dewasa;
  2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
  3. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang  telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Hal Tertentu

Suatu hal tertentu sebagai salah satu syarat perjanjian jika tidak terpenuhi dalam perjanjian maka perjanjian itu dikatakan batal demi hukum (nuul and void). Pengertian hal tertentu dalam hukum perikatan adalah prestasi (kewajiban yang mesti dipenuhi oleh ke dua pihak atau lebih) yang terjadi dalam perjanjian sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1234 BW prestasi itu dapat berupa:

  1. Menyerahkan sesuatu;
  2. Berbuat sesuatu;
  3. Tidak berbuat sesuatu.

Apa yang ditegaskan dalam Pasal 1234, bukanlah bentuk prestasi melainkan cara melakukan prestasi itu. Bentuk prestasi yang sebenarnya adalah barang yang mesti diserahkan, jasa dengan cara berbuat sesuatu, dan berdiam diri untuk tidak berbuat sesuatu seperti “berjanji untuk tidak membuat pagar pembatas antara dua rumah yang bertetetangga.[2]

Sebab Yang Halal

Yang di maksud dengan halal atau yang diperkenankan oleh undang-undang menurut Pasal 1337 KUH Perdata adalah “persetujuan yang tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan”.

Pengertian sebab pada syarat keempat untuk sahnya suatu perjanjian tiada lain adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Jadi dalam hal ini harus dihilangkan salah sangka bahwa yang dimaksud sebab itu di sini adalah suatu sebab yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian tersebut. Bukan hal ini yang dimaksud oleh undang-undang dengan sebab halal. Sesuatu yang menyebabkan sesorang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa yang untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak dihiraukan oleh undang-undang. Undang-undang hanya menghiraukan tindakan tindakan orang-orang dalam masyarakat. Jadi yang dimaksud dengan sebab atau kausa dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.[3]


[1] Sepakat dan cakap merupakan syarat subjektif (jika tidak terpenuhi maka perjanjian  dapat dibatalkan), sementara unsur suatu hal tertentu dan sebab yang halal sebagai syarat objektif (jika tidak terpenuhi perjanjian batal demi hukum)

[2] Lihat dalam Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, Jakarta: Rajawali Press, hal 30.

[3] http://id.shvoong.com/law-and-politics/2230796-pengertian-causa-yang-halal-dalam/

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...