Tolak Serangan Fajar di Hari (H) Pilkada

Akhirnya, kita telah tiba lagi  di penghujung kontetasi electoral dari gelombang pilkada serentak tahap kedua (Pilkada 2017). Pilkada kali ini diikuti oleh 101 daerah di Indonesia. Dan jumlah tersebut terdiri dari 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Khusus untuk wilayah Sul-sel sendiri hanya ada satu daerah, yakni Kabupaten Takalar.

Salah satu persoalan klasik yang sering merusak pemilihan kepala daerah dalam prinsip fairness, khususnya di detik-detik hari (H) pemilihan, yaitu ketika pemilih akan datang ke tempat pemungutan suara, acapkali oknum dari Pasangan Calon (Paslon) tertentu bergerilya, menggoda dan membujuk rayu pemilih melalui pemberian materi atau uang kepada pemilih. Praktik jual beli suara ini (vote buying) biasa dilakukan pada malam hari, atau dipagi hari, sebelum hari pemilihan, sehingga dilekatilah dengan istilah “serangan fajar.”

Sumber Gambar: setkab.go.id

Sumber Gambar: setkab.go.id

Sulit Menjerat

Dilihat dari wujud perbuatannya, maka serangan fajar sebenarnya terkualifikasi sebagai tindak pidana yang telah dikriminalisasi melalui UU Pemilihan (Pasal 73 UU No 10/2016). Bahkan tak main-main, hukumannya bisa berdampak pada pembatalan Paslon oleh KPUD, manakalah terbukti perbuatannya berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Sayangnya, kaidah hukum tersebut hanya indah dalam teksnya. Di tataran impelemantatif, mustahil menjerat para pelakunya. Jangankan pelaku yang terlibat jual beli suara di hari (H) ataukah pelaku yang terlibat dalam serangan fajar mau dijerat, untuk pelaku yang jauh-jauh hari telah membagi-bagi uang saja kepada pemilih (misalnya di masa-masa kampanye), hingga saat ini juga masih sulit dan jauh dari radar “penghukuman,” baik itu sanksi administratif maupun sanksi pidana.

Mengapa sulit menjerat para pelaku tersebut? Itu Bukan karena tidak ada pelakunya, atau bukan karena pemilih yang mendiamkan kejadian tersebut. Akan tetapi dari undang-undangnya sendiri yang masih terjadi kekosongan hukum.

Permasalahan utamanya tersimpul dari dua persoalan mendasar, yaitu: Pertama, desaian kriminalisasi jual beli suara dalam Undang-undang pemilihan, hanya dapat dikatakan terpenuhi peristiwa pidananya jika perbuatannya itu dilaksanakan secara “terstruktur, sistematis, dan massif.” Dalam penjelasan Undang-undang pemilihan ditegaskan bahwa yang dimaksud terstruktur adalah kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelanggara pemilihan secara kolektif dan secara bersama-sama. Yang dimaksud dengan sistematis adalah pelanggaran yang dilaksanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapih. Sementara yang dimaksud dengan massif adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan, bukan hanya sebagian-sebagian.

Sangat sulit rasanya, kalau jual beli suara yang diwujudkan dalam bentukan serangan fajar akan terkualfikasi dalam Undang-undang tersebut. Oleh karena yang namanya serangan fajar jarang sekali penyelenggara pemilihan terlibat di dalamnya, kalau hendak dianggap perbuatan tersebut bersifat terstruktur. Belum lagi pada unsur sistematis dan massif, perihal membuktikan kalau pelaku yang terlibat dalam serangan fajar, dapat diidentifikasi satu persatu pelakunya secara berjenjang, perbuatannya tersusun secara rapih, sampai pada akan mempengaruhinya hasil pemilihan tetap juga sulit membuktikannya karena akan terkendala dari segi waktu. Pada intinya, unsur yang dimaksudkan itu karena dinyatakan secara “kumulatif,” harus terpenuhi ketiga unsurnya, maka menjerat praktik jual beli suara di hari (H) pemilihan sama sekali tidak memungkinkan.

Lalu masalah yang kedua, desain kriminalisasi perbuatan jual beli suara yang terdapat dalam Undang-undang pemilihan hanya ditujukan pada peristiwa hukumnya (tempus delicti) sebelum hari (H) pemilihan. Sehingganya, pun kalau perbuatan demikian dapat menjerat pelaku, terutama Paslon yang terlibat di dalamnya melalui pembatalan sebagai peserta pemilihan, hal itu hanya memungkinkan kalau terjadi di masa kampanye saja.

Satupun dalam Undang-undang Pemilihan, tidak ada ketentuan hukum yang dikhususkan untuk menjerat Paslon manakalah terlibat dalam jual beli suara di hari (H) pemilihan. Maka jangan heran, pada hari (H) pemilihan ini, kalau masih ada yang berani melakukan ajang jual beli suara melalui serangan fajar, sebab instrumen hukum yang bertujuan “menakut-nakuti” pelaku memang tidak disedikan dalam Undang-undang tersebut.

Implikasi lain dari keadaan ini, sudah pasti pada tahapan Perselisihan Hasil Pemilihan nanti di Mahkamah Konstitusi (MK), akan kembali dipersoalkan oleh Paslon yang kalah. Ujuk-ujuknya, MK lagi-lagi menjadi “keranjang sampah” dari segala persoalan hukum, tetek-bengek pemilihan  yang mestinya diselesaikan di tingkat tahapan.

Tolak!

Dengan sulitnya menjerat Paslon atas tindakannya yang merusak prinsip fairness dalam penyelenggaraan pemilihan. Maka kemudian harapan itu, agar pemilihan tetap dalam semangatnya yang menjunjung keadilan elektoral, semuanya sangat ditentukan oleh pemilih itu sendiri yang berani menolak untuk menerima uang atau materi lainnya ketika ada oknum dari Paslon  tertentu bergerilya menggoda pemilih di detik-detik pemilihan.

Anda pemilh, tidak perlu menerima tamu di malam hari, jika ada yang mengatasnamakan tim kampanye dari salah satu Paslon. Anda pemilih, tidak perlu tergoda dengan isu keramaian, bahwa di lorong sana terdapat “tebaran uang” dari oknum pendukung salah satu Paslon. Beranilah menolak segala bujuk rayu itu, tetap berjalan lurus ke depan, tentukan nasib anda sendiri di kotak suara, lima tahun ke depan. Serangan fajar tidak akan berhasil, kalau penerima alias pemilih  menolak pemberi (uang) di hari (H) pemilihan.

Ke depannya, proses demokrasi elektoral menuju keadilan tertinggi, khususnya ceruk pasar pemilih. Agenda pemilihan langsung seyogianya mengkaidahi segala perbuatan jual beli suara di hari (H) pemilihan. Mereka yang terlibat, turut serta, turut membantu, dalam serangan fajar di hari (H) pemilihan, terutama Paslon bersangkutan harus dijerat dalam sanksi pembatala Paslon, meskipun pemungutan suara telah selesai dihelat. Pun, jika yang terpilih atau Paslon yang mendapatkan suara mayoritas nantinya terbukti dalam jual beli suara, KPUD seharusnya diberi kewenangan untuk membatalkan Paslon terpilih.

Tolak Serangan Fajar, tolak money politic, selamat memilih secara jujur dan bersih.

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...