Vonis Kelewatan Herry Wirawan

Sumber Gambar: purnawarta.com

VONIS mati Pengadilan Tinggi Bandung terhadap Herry Wirawan, pemerkosa belasan santri, berlebihan. Selain merampas hak hidup seseorang, hukuman mati bukan solusi untuk mengatasi kekerasan seksual yang semakin marak. Negara seharusnya bisa berperan lebih jauh, bukan dengan menjatuhkan vonis mati, melainkan memperbaiki sistem dan memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.

Pada 4 April 2022, hakim Pengadilan Tinggi Bandung mengubah vonis penjara seumur hidup di pengadilan pertama menjadi hukuman mati. Hakim juga memerintahkan Herry membayar biaya restitusi untuk para korban dan anaknya senilai Rp 332 juta. Seluruh harta Herry juga dirampas dan dilelang oleh negara untuk membiayai para korban.

Dengan segala perilaku buruknya, Herry memang pantas dijatuhi hukuman berat. Bertahun-tahun ia menyetubuhi santri yang diasuhnya, bahkan ada yang sampai memiliki dua anak. Mendekam di dalam bui hingga mati adalah hukuman yang setimpal untuk Herry. Itu saja cukup. Pengadilan tak perlu membalas kejahatan dengan kejahatan yang tak kalah kejam melalui penghilangan nyawa Herry.

Di banyak negara, hukuman mati kian ditinggalkan karena tidak manusiawi. Pada 2021, sebanyak 108 negara telah menghapus sanksi tersebut dan 28 negara memberlakukan moratorium vonis mati. Pun Belanda, negara yang mewariskan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ke negeri ini, telah mencabut hukuman tersebut. Indonesia, sayangnya, masuk dalam daftar 55 negara yang masih menerapkan pembinasaan pelaku kejahatan.

Kajian Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1998 dan 2002 menunjukkan bahwa hukuman mati, yang identik dengan budaya kekerasan, tidak berkorelasi sama sekali dengan penurunan tindak kejahatan. Dengan kata lain, vonis mati tak mampu menimbulkan efek jera terhadap pelaku kejahatan dan publik. Di sejumlah negara maju yang menghapus hukuman primitif itu, tingkat kejahatan justru menurun. Maka, sudah selayaknya Indonesia segera menghapus hukuman mati.

Hukuman mati kerap membuat negara melupakan perbaikan sistemik untuk mencegah kejahatan. Vonis Pengadilan Tinggi Bandung tidak akan mampu mencegah kemunculan Herry-Herry baru pada masa depan, di lain tempat. Ketimbang menghukum mati para pelaku kejahatan seksual seperti Herry, negara lebih baik berfokus memperbaiki sistem pencegahan dan penanganan kekerasan seksual serta memberikan perlindungan bagi para korban.

Pemerintah kini harus memastikan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang saat ini tengah dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat tak tertunda lagi. Nasib rancangan itu terkatung-katung sejak DPR periode lalu. Penundaan pembahasan dan pengesahan rancangan menunjukkan betapa pemerintah dan DPR tak berkomitmen mencegah dan mengatasi kekerasan seksual.

Pun pemerintah sebaiknya mempertahankan berbagai pasal penting dalam rancangan tersebut. Sayangnya, memang, pasal pemerkosaan dalam draf itu dihapus karena telah diatur dalam KUHP. Tanpa adanya penetrasi sekalipun, seperti dinyatakan dalam KUHP, pemaksaan hubungan seksual jelas merupakan pemerkosaan.

Seperti juga vonis terhadap Herry Wirawan, penghilangan pasal itu merupakan langkah mundur dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Juga hukuman mati bagi para pelaku kejahatan. Sejahat-jahatnya manusia, kita tak punya hak mencabut nyawa manusia lain.

 

EDITORIAL: Dewan Redaksi Koran Tempo*

KORAN TEMPO, 5 April 2022

Sumber : https://koran.tempo.co/read/editorial/472933/herry-wirawan-juga-punya-hak-hidup?

You may also like...