Walikota Makassar Diganti (Lagi)

Sumber: paper tribun timur

HANYA empat puluh dua hari menjabat sebagai pelaksana tugas (Plt) Walikota, Prof. Yusran Jusuf akhirnya harus angkat kaki dan koper dari kantor balai kota Makassar. Alasan Prof. Nurdin Abdullah sebagai Gubernur Sulsel mengusulkan penggantian itu ke Menteri Dalam Negeri (Mendagri), katanya karena dibutuhkan strong leader yang bisa merangkul semua elemen masyarakat dalam mengendalikan Covid-19 di kota Makassar.

Terlepas dari soal gagal atau tidaknya Prof. Yusran dalam pengendalian Covid-19. Sudah pasti akan muncul pertanyaan di benak kita, Apakah dibenarkan secara hukum Gubernur mengusulkan penggantian Plt Walikota yang masa jabatannya baru seumur “jagung”?

Prematur
Peringatan Lord Acton, hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, sementara kekuasaan tanpa hukum adalah kesewenang-wenangan (justice without might is helpless might without justice is tyrannical). Sedikit tidaknya, bisa memuaskan dahaga publik terkait dengan pertanyaan di atas.
Perangkat yuridis untuk pengisian jabatan kepala daerah dalam ihwal tidak terpilihnya calon tunggal, dengan melalui pelaksana tugas kepala daerah, tidak lengkap dan tidak jelas dasar hukumnya. Itulah kekosongan hingga kekaburan hukum atas pengangkatan Plt Walikota Makassar saat ini, sehingga berada dalam pelaksanaan kekuasaan yang cenderung membuka pintu “penyalahgunaan kewenangan.”
Preseden pengangkatan Plt Walikota Makassar yang selama ini berlangsung dengan merujuk pada Pasal 54 D ayat 4 UU Nomor 10 tahun 2016 dan Pasal 86 ayat 6 UU Nomor 23 tahun 2014, prematur dan cacat bawaan sejak lahirnya. Bagaimana mungkin menggunakan dasar hukum tentang mekanisme pengangkatan Plt yang berada dalam dua alasan yang berbeda. Satu, kekosongan jabatan yang terjadi karena hasil pemilihan yang memenangkan bumbung kosong. Satunya lagi, kekosongan jabatan dikarenakan kepala daerahnya sedang menjalani pemidanaan.
Parahnya lagi, UU Pemda yang mengamanatkan tentang masa jabatan Plt Kepala Daerah melalui Peraturan Pemerintah, hingga sekarang belum ada. Terdapat regulasi yang mengatur jabatan Plt. Kepala Daerah dalam Pasal 132 ayat 4 PP Nomor 6 tahun 2005, yaitu dengan masa 1 (satu) tahun. Namun PP ini, juga merupakan peraturan yang usang, sebab sandaran pembentukannya masih dengan UU Nomor 32/2004 (bukan UU No. 23/2014).
Begitulah kotak pandora yang menggelayuti pengangkatan Plt Walikota Makassar. Dasar hukum yang tidak lengkap dan tidak jelas menyebabkan dua entitas kekuasaan, Gubernur dan Mendagri semau-maunya melakukan penggantian Walikota.
Apapun pilihannya, tidak dibenarkan melakukan penggantian Plt. Walikota kurang dari masa jabatan satu tahun. Sebab selain preseden ketatanegaraan demikian adanya, juga sangat terkait dengan perlunya menjaga stabilitas pemerintahan. Urusan Walikota tidak berdiri sendiri dalam satu kepentingan. Mulai dari urusan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan hukum menjadi tanggung jawabnya.
Bisa dibayangkan, kalau pejabat Walikota bergonta-ganti, hanya akan menghabiskan waktu bagi pejabat baru untuk beradaptasi dengan kebijakan-kebijakan pemerintahan sebelumnya. Termasuk pemborosan persuratan adminisitratif yang harus diperbaharui gara-gara datangnya Walikota baru lagi.
Penggantian Walikota dengan penilaian sepihak Gubernur, tanpa meminta pendapat anggota DPRD Kota Makassar. Juga telah mendelegitimasi prinsip otonomi pemerintahan daerah. Sebab bukankah DPRD merupakan representasi dari penduduk Makassar.

Gugat Keputusan
Penilaian sepihak Gubernur yang kemudian dieksekusi oleh Mendagri sehingga terjadi penggantian Walikota dalam waktu singkat, membutuhkan keberanian untuk menguji kebijakan dan keputusan tersebut melalui badan Peradilan Tata Usaha Negara. Perihal sesuai tidaknya dengan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Ini menjadi penting, agar menjadi pembelajaran kepada pemerintah, tidak dengan mudahnya mengebiri standar pengelolaan pemerintahan berdasarkan penilaian dan kepentingannya yang serba berpihak.
Siapa selanjutnya yang memiliki kedudukan hukum untuk menguji keputusan itu? Tentu yang pertama, adalah Walikota yang diganti dengan kepentingan hukum terjadi kerugian atas dirinya sebagai individu atas keputusan Mendagri. Kemudian yang kedua, adalah warga sebagai perorangan atau LSM yang mewakili kepentingan warga Makassar dengan alasan hukum terdapat keputusan yang mengganggu stabilitas dan Kondusifitas pemerintahan.
Tat kala kasus tersebut diajukan di Peradilan Tata Usaha Negara. Pokok dan alasan gugatan yang harus dibuktikan, yaitu (1) Keputusan bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena penggantian Plt. Walikota hanya dibenarkan setelah masa jabatan, mencapai 1 (satu) tahun. Atau setidak-tidaknya dapat berakhir kurang dari satu tahun, dalam hal sudah terdapat pejabat Walikota melalui hasil pemilihan secara langsung. (2) Juga bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, karena keputusan tersebut merupakan penyalahgunaan kewenangan terkait dengan kepentingan politik (detournement de pouvoir).
Alasan kedua ini memang sulit dibuktikan, tetapi fakta-fakta empiriknya dapat terbaca secara kasat mata. Keterpilihan Prof. Yusran kemarin banyak pihak yang membacanya sebagai hasil negosiasi partai NasDem ke pusat. Pada saat yang sama DP sudah menggandeng 02-nya yang tak lain adalah perwakilan NasDem. Ditakutkan Prof. Yusran berpihak ke calon yang saat ini sudah hampir pasti diusung oleh Partai NasDem.
Tidak perlu diungkap kendaraan partai sang Gubernur dan Mendagri saat ini, yang mendorong Plt. Walikota baru. Adalah terdapat kepentingan politik terselubung untuk pergelaran Pilwali Makassar 2020.
Kalaupun alasan hukum itu tidak akan membuahkan hasil. Dalilkan saja. Biarkan majelis hakim persidangan menilainya di rapat permusyawaratan yang tertutup. Toh kalau alasan itu ditolak, mari kita serahkan kepada publik Makassar, selain sebagai bentuk pembelajaran hukum dan politik ekstra, ia juga punya cara lain untuk “mengadilinya” pada 9 Desember 2020 nanti.*

Oleh:

Damang Averroes Al-Khawarizmi
Opini Tribun Timur, 27 Juni 2020

Damang Averroes Al-Khawarizmi

Alumni Magister Hukum Universitas Muslim Indonesia, Buku yang telah diterbitkan diantaranya: “Carut Marut Pilkada Serentak 2015 (Bersama Muh. Nursal N.S), Makassar: Philosophia Press; Seputar Permasalahan Hukum Pilkada dan Pemilu 2018 – 2019 (Bersama Baron Harahap & Muh. Nursal NS), Yogyakarta: Lintas Nalar & Negara Hukum Foundation; “Asas dan Dasar-dasar Ilmu Hukum (Bersama Apriyanto Nusa), Yogyakarta: Genta Press; Menetak Sunyi (Kumpulan Cerpen), Yogyakarta: Buku Litera. Penulis juga editor sekaligus pengantar dalam beberapa buku: Kumpulan Asas-Asas Hukum (Amir Ilyas & Muh. Nursal NS); Perdebatan Hukum Kontemporer (Apriyanto Nusa); Pembaharuan Hukum Acara Pidana Pasca Putusan MK (Apriyanto Nusa); Praperadilan Pasca Putusan MK (Amir Ilyas & Apriyanto Nusa); Justice Collaborator, Strategi Mengungkap Tindak Pidana Korupsi (Amir Ilyas & Jupri); Kriminologi, Suatu Pengantar (A.S. Alam & Amir Ilyas). Adapun aktivitas tambahan lainnya: sebagai konsultan hukum pihak pemohon pada sengketa hasil pemilihan Pilkada Makassar di Mahkamah Konsitusi (2018); pernah memberikan keterangan ahli pada sengketa TUN Pemilu di PTUN Kendari (2018); memberikan keterangan ahli dalam pemeriksaan pelanggaran administrasi pemilihan umum di Bawaslu Provinsi Sulawesi Tenggara (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kota Gorontalo (2019); memberikan keterangan ahli dalam Kasus Pidana Pemilu di Bawaslu Kabupaten Buol, SUlawesi Tengah (2019); memberikan keterangan ahli dalam kasus pidana pemilu di Pengadilan Negeri Kendari (2019); memberikan keterangan ahli mengenai tidak berkompetennya PTUN mengadili hasil pemilihan umum DPRD di PTUN Jayapura (2020); memberikan keterangan ahli dalam sidang sengketa pemilihan di Bawaslu Kabupaten Mamuju (September 2020) Terkait dengan Penerapan Pasal 71 ayat 2 sd ayat 5 UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

You may also like...